KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang atas
rahmat-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan Karya
Tulisan yang bertema Strategi Pemecahan
Krisis Utang di Negara Berkembang Indonesia Secara Global
Penulisan karya tulis adalah merupakan salah satu
tugas dan persyaratan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
Softskill .
Dalam Penulisan Karya Tulis ini penulis merasa masih
banyak kekurangan-kekurangan baik pada teknis penulisan maupun materi,
mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu kritik dan saran dari
semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini.
Dalam penulisan karya tulis ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada pihak-pihak yang membantu dalam
menyelesaikan tugas ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah memberikan imbalan yang
setimpal pada mereka yang telah memberikan bantuan, dan dapat menjadikan semua
bantuan ini sebagai ibadah, Amiin Yaa Robbal ‘Alamiin.
PENDAHULUAN
Krisis
utang yang terjadi di negara berkembang kini meningkat , bukan hanya di negara
berkembang saja di berbagai negara industri pun sedang mengalami juga. Salah
satu beban ekonomi Indonesia adalah utang luar negeri yang terus membengkak,
Utang ini sudah begitu berat mengingat pembayaran cicilan dan bunganya yang
begitu besar. Biaya ini sudah melewati kapasitas yang wajar sehingga biaya
untuk kepentingan-kepentingan yang begitu mendasar dan mendesak menjadi sangat
minim yang berimplikasi sangat luas. Sebagai negara berkembang yang sedang
membangun, yang memiliki ciri-ciri dan persoalan ekonomi, politik, sosial dan
budaya yang hampir sama dengan negara berkembang lainnya,Indonesia sendiri
tidak terlepas dari masalah utang luar negeri, dalam kurun waktu 25 tahun
terakhir,utang luar negeri telah memberikan sumbangan yang cukup besar bagi
pembangunan di Indonesia. Bahkan utang luar negeri telah menjadi sumber utama
untuk menutupi defisit Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) dan memberikan
kontribusi yang berarti bagi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang pada
akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.Meskipun utang luar negeri (foreign
debt) sangat membantu mentupi kekurangan biaya pembangunan dalam Anggaran
Pendapatan Belanja Negara (APBN) namun persoalan pembayaran cicilan dan bunga
menjadi beban yang terus-menerus
harus dilaksanakan,apalagi nilai kurs rupiah terhadap dollar cenderung tidak
stabil setiap hari bahkan setiap tahunnya.
Utang
luar negeri Indonesia pada 2012 mencapai Rp 1.937 triliun atau naik sekitar Rp
600 triliun dalam waktu kurang dari 5 tahun. Saat ini, utang sudah bertambah
menjadi Rp 134 triliun. Jika dibandingkan dengan total utang sejak 1945 hingga
2007, yang berjumlah Rp 1.300 triliun atau Rp 1,3 kuadriliun, maka utang yang
dibuat SBY dalam 5 tahun terakhir setara dengan 50 persen utang Indonesia
selama 67 tahun. Juru bicara LSM Bendera, Mustar Bona Ventura, mengatakan,
bunga yang dibayarkan tahun ini mencapai 90 persen dari utang. Jika Indonesia
berani menghentikan utang baru dan mulai membayar cicilan, yaitu sebesar Rp 50
triliun per tahun atau Rp 1,1 triliun per minggu, maka utang pokok akan lunas sekitar
40 tahun. Jika yang dilunasi berikut dengan bunga berbunganya, maka kemungkinan
utang baru lunas 100 tahun dari hari ini, yaitu tahun 2112. Menghentikan utang
dengan penghematan anggaran tidak mungkin terjadi, Jika dilihat dari pola hidup
mewah pejabat, biaya rapat kabinet sebesar Rp 30 miliar per tahun, serta
pejabat maupun kader Partai Demokrat yang terlibat korupsi, maka sulit SBY
mampu melakukan penghematan besar-besaran di semua sektor.
Jika
dibiarkan utang meningkat secara terus-menerus akan berdampak , yang disebut Bom Utang , reduksi impor di negara
berkembang berarti berkurangnya ekspor, dan selanjutnya lapangan kerja. Dengan
adanya krisis ekonomi tersebut kinerja perbankan Indonesia terus menunjukkan
perkembangan yang memburuk. Hal ini ditandai dengan hilangnya kepercayaan
masyarakat dengan terjadinya penarikan besar-besaran (Rush) yang
berdampak para investor asing maupun lokal tidak mau berinvestasi. Namun ,
bukan hanya itu masalah politik kericuhan sosial dan politik di negara yang
terbelit utang tidak stabil. Masalah utang menimbulkan dampak yang lebih luas
secara internasional.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak
stabil dan pola perkembangan yang tidak sehat harus segara dipulihkan. Untuk
mencapai hal itu, beban utang harus dikurangi. Pertumbuhan ekonomi (growth)
merupakan salah satu indikator perekonomian yang dipengaruh oleh berbagai macam
variabel, salah satunya adalah Produk Domestik Bruto (PDB). Hutang luar negeri
(foreign debt) adalah variabel yang bisa saja mendorong perekonomian
sekaligus menghambat pertumbuhan ekonomi. Mendorong perekonomian maksudnya,jika
hutang-hutang tersebut digunakan untuk membuka lapangan kerja dan investasi
dibidang pembangunan yang pada
akhirnya dapat mendorong suatu perekonomian,sedangkan menghambat pertumbuhan
apabila utang-utang tersebut tidak dipergunakan secara maksimal karena masih
kurangnya fungsi pengawasan dan integritas atas penanggung jawab utang-utang
itu sendiri.
ISI
MASALAH UTANG NEGARA
BERKEMBANG
Masalah utang negara berkembang akan
bersifat jangka pendek, disebut masalah likuiditas. Penyelesaiannya berupa
penyesuaian struktural, penyesuaian-penyesuaian ini tidak mudah dilakukan dan
memerlukan waktu, tetapi bank-bank menganggap negara berkembang tidak cukup
berusaha. Pada umumnya, program negara berkembang yang terlibat cukup baik di
atas kertas, tetapi pelaksanaannya buruk. Seperti, mempersulit mengikutsertakan
bank-bank dalam restrukturisasi program penyediaan sumber-sumber daya yang
diperlukan oleh negara berkembang. Kesulitan ini membuat banyak orang
memikirkan cara-cara baru untuk mengatasi masalah utang.
Program pengurangan utang harus
mencakup pertukaran debt-equity, pertukaran utang swasta-utang, pertukaran
utang pemerintah-utang, pertukaran utang-ekspor, pertukaran utang-tujuan
lingkungan dan pembelian kembali utang. Program pengurangan utang tersebut
tidak akan dengan sendirinya mengisi kesenjangan sumber daya di negara
berkembang, namun kalau didukung dapat banyak menolong. Bank-bank akan mau
menukarkan utang-utang disertai potongan, dengan aset yang lebih baik.
Di beberapa negara, banyak utang
yang tidak berasal dari bank, melainkan dari negara-negara kreditur. Karena
bank-bank komersial membatasi diri pada pendanaan perdagangan saja dan
menghindari neraca pembayaran serta pendanaan proyek. Usul pemerintah
negara-negara ini untuk memberi keringanan utang merupakan solusi yang
realistis dan harus segera dilakukan.
Masalah utang yang dihadapi negara
berkembang membutuhkan kepemimpinan yang kuat untuk melaksanakan perbaikan
penting, dan pemerintah multilateral supaya kelenturan dan ketetapan meneruskan
perubahan dilengkapi dengan imajinasi, dan diperlukan bank untuk bertahan.
MENGHADAPI KRISIS
UTANG
Cara alternatif yang dipakai
negara-negara debitur untuk meningkatkan kapasitas pembayaran utang mereka
saling bertentangan pada keadaan-keadaan tertentu. Jika mereka ingin membayar
utang pada waktunya, mereka harus mengalihkan sumber daya langka dari strategi
pertumbuhan yang sedang dijalankan. Bila mereka ingin berkembang, mereka harus
menarik sumber daya dari pembayaran utang. Misalnya, devaluasi mata uang yang
tak terelakkan supaya bantuan untuk ekspor diharapkan menimbulkan inflasi dan
melalui kenaikan bunga utang dalam mata uang nasional, meningkatkan defisit
anggaran. Ini akan menyebabkan penyakit inflasi baru dan cenderung menggerakkan
pembatasan-pembatasan impor.
Peringanan utang mestinya
menguntungkan kreditur karena meningkatkan insentif para debitur untuk
membereskan negeri mereka dengan hasil terbinanya kepercayaan investor domestik
maupun asing. Hasil ini penting kalau mengingat kembali hilangnya kepercayaan
eksternal dan internal terhadap negara debitur. Pelarian modal, ketidakstabilan
politik, dan radikalisasi dalam bentuk apa pun, merupakan akibat sampingan dari
perkembangan seperti itu.
Langkah-langkah penyesuaian yang
perlu dijalankan adalah, antara lain : penarikan subsidi, pelonggaran distorsi
akibat monopoli, keterbukaan dan kepercayaan dalam manajemen perusahaan milik
negara, penghapusan hambatan-hambatan perdagangan di pasar negara-negara
debitur, dan kebijakan nilai tukar yang lebih fleksibel.
Hal ini kembali menunjukkan bahwa
sampai batas tertentu politik menentukan keberhasilan atau kegagalan pendekatan
baru terhadap krisis utang. Peranan pemerintah negara-negara industri mesti
diberi tekanan khusus. Mereka mesti membuktikan bahwa mereka benar-benar
menyadari tanggung jawab mereka. Nyatanya, pemerintah negara-negara industri
ini menyimpan taruhan besar pada keberhasilan resolusi krisis utang negara
berkembang dalam perdagangan, lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, stabilitas
geopolitis, dan sistem keuangan global yang lebih aman. Hanya mereka yang dapat
menghimpun kemauan politik ke arah proses itu. Tentu, kepemimpinan seperti itu
diperlukan bukan untuk substitusi dana negara bagi kredit swasta dan risiko
negara bagi risiko swasta, melainkan untuk memulihkan hubungan kredit yang
sehat dan berkesinambungan di antara negara-negara debitur dan pasar keuangan
internasional. Satu langkah penting yang harus di ambil oleh pemerintah negara
industri adalah penyerasian peraturan pajak dan komersial.
Pembukaan pasar dengan tujuan
mengurangi utang tiap-tiap negara hingga ke tingkat yang memungkinkan
negara-negara itu mencapai kemampuan membayar utang yang ada secara memadai.
Bila tingkat tersebut tercapai, aliran suka rela baru dari bank-bank komersial
dapat digunakan untuk membiayai proyek dan perdagangan, yakni investasi
produktif yang membantu pertumbuhan dalam negeri yang sangat diperlukan.
Kemajuan tidak mudah dicapai, tanpa
partisipasi luas dari negara-negara kreditur utama, akan banyak tindakan yang
menjadi tumpul. Oleh karena itu, peningkatan kepercayaan pengurangan utang
dapat memberikan bantuan yang berguna, dan yang paling penting, demi kepentingan
semua pihak yang terlibat, mesti menggunakan seluruh pengaruh dan kemampuan
persuasif masing-masing untuk meyakinkan mereka yang belum percaya.
MENGATASI MASALAH
UTANG
Dana Moneter Internasional (IMF),
bank komersial Amerika Serikat, dan Bank Dunia, menganggap penyebab krisis
utang (yang bermunculan di negara berkembang ) adalah kekurangan likuiditas
jangka pendek pada negara-negara debitur. Pada dasarnya mengatasi masalah utang
dengan melakukan kerja sama gabungan dalam mencari solusi masalah utang.
1. Jalan keluar
melalui pengurangan beban utang dengan pembagian beban
Kelebihan utama pendekatan ini
adalah tercakupnya konsep sekuritisasi dan instrumen inkorporasi yang dapat
mengurangi stok utang yang belum dilunasi.
2. Melakukan kerja
sama
Salah satu langkah pengurangan utang
yang lebih efektif dan sekaligus menaikkan investasi dalam industri ekspor dan
industri impor yang disubstitusi.
3. Membaiknya sistem
simpanan
SOLUSI PASAR UNTUK
KRISIS UTANG
Peristiwa utama
sehubungan dengan utang Negara berkembang adalah terus berlangsungnya
penjadwalan ulang negara berkembang dan munculnya pasar sekunder yang
responsive bagi pinjaman. Kalau dilihat dari skalanya, penjadwalan ualang yang
terus menerus dan berkelanjutan mengecilkan arti transaksi lainnya. Akibatnya,
penjadwalan ulang member peluang-langsung atau tidak langsung-untuk sebagian
besar transaksi yang melibatkan pinjaman.
“Pasar” yang sedang kita bicarakan itu bukanlah kelompok investor
yang tidak punya kepentingan, tidak jelas, pasif, atau sederhana. Pasar yang
dimaksud tidak lain adalah bank- bank yang paling awal meminjamkan uang ke
Negara berkembang. Bank adalah lembaga pertama yang menyadari bahwa pelonggaran
persyaratan penjadwalan ulang hanyalah permulaan proses pengampunan utang yang
terus berlangsung secara bertahap. Pendek kata, apa pun pernyataan umum
mengenai penjadwalan ulang, realitas ekonominya sudah terjadi, yakni sejumlah
besar pemberi pinjaman terdahulu telah memutuskan untuk menjual pinjaman Negara
berkembang dengan potongan besar.
Bagi kebanyakan bank,
keputusan untuk menjual asset yang buruk menggambarkan suatu revolusi dalam
manajemen portofolio. Sebelum terjadi krisis utang, bank jarang memperdagangkan
asset mereka lebih sedikit asset mereka yang buruk. Yang memungkinkan
berkembangnya pasar utang yang didiskonto adalah sangat banyak pinjaman yang
sejenis. Yang menyebabkan pasar tersebut cepat
berkembang adalah ketidaksabaran banyak bank untuk menyelesaikan masalah
utang.
Pasar Bagi Pemberi Pinjaman Baru
yang Benar-benar Suaka Rela
Kebijaksanaan yang
lazim beranggapan bahwa Negara berkembang memerlukan suntikan modal yang sangat
besar untuk meningkatkan pertumbuhan dan, dengan demikian, berhasil
menyelesaikan masalah utang. Akibatnya, bermunculan spekulasi mengenai kapan
Negara berkembang siap mendapatkan dana segar di pasar kredit internasional
atas dasar yang benar-benar suka rela. Dengan kata lain, keuntungan apa yang
diinginkan oleh bank, perusahaan asuransi, dana pensiun, dan rakyat biasa
dengan menginvestasikan atau memberikan pinjaman baru bagi Negara berkembang?
Sehubung dengan utang
Negara berkembang, ada dua kubu investor: bank yang meminjamkan miliaran kepada
Negara berkembang, dan perusahaan asuransi, dana pensiun serta beberapa bank
yang tidak terlibat dalam pemberian pinjaman, krisis utang, dan penjadwalan
ulang.
Disamping itu, para
pemegang saham bank jarang yang memahami mengapa orang mau meminjam dana baru
dengan nilai parinya kalau tidak lama kemudian pinjaman yang sama dapat dibeli
dengan setengah harga dipasar sekunder. Bahwa, pemegang saham sama sekali
membiarkan naiknya dana baru suka rela,
itu sungguh mengherankan.
Analisis yang lebih
gamblangbagi lembaga yang bukan kreditur Negara berkembang. Lembaga seperti itu
memperhatikan proses penjadwalan ulang tanpa henti yang serba sulit dan tidak
nyata. Bahkan yang lebih penting berdasarkan perspektif investor, mereka
memperhatikan harga pinjaman Negara berkembang sangat jatuh sejak krisis utang.
Pendirian para banker
besar, yakni harga utang Negara berkembang yang sedang berlaku tidak
mencerminkan nilai pinjaman – harga terlalu rendah – tidak benar. Bahkan harga
yang sedang berlaku terlalu tinggi menilai utang. Investasi baru yang penting
pada utang Negara berkembang dan pemberian pinjaman baru yang penting kepada
Negara berkembang dan pemberian pinjaman baru yang lebih besar. Untuk mencapai
keuntungan tersebut, harga mesti terus turun cukup banyak, sampai keuntungannya
setara dengan resikonya.
Masalah persediaan
mempunyai dua sisi: sisi kreditur dan sisi Negara. Dengan sangat besarnya
jumlah pinjaman yang belum dilunasi, tidak diragukan lagi, meskipun harga
sekunder terus turun, bank akan tetap menjual pinjaman yang diberikan kepada
Negara berkembang. Sesungguhnya, jika tidak berpatokan pada sejarah, makin jauh
harga turun makin banyak kreditur yang akan menyerahkan dan menjual tunai.
Pertimbangan yang lebih
pelik pada pihak debitur dikeluarkannya utang baru. Seumpama untuk sementara
waktu kita mencapai tingkat keuntungan daridari pembelian pasar sekunder
sehingga bisa mendapatkan pembeli utang Negara berkembang sesuai dengan
skalanya, masih belum jelas apakah Negara berkembang akan mengeluarkan utang
baru tingkat keuntungan pasar tersebut. Mungkin inilah hambatan paling besar
bagi inisiatif berdasarkan pasar. Lagi pula, suntiakn dana dari lembaga
multilateral dengan tingkat subsidi sangat besar agak mengecilkan hati Negara
berkembang untuk menghadapi kerasnya realitas pasar.
Perkembang paling
penting akan membantu menarik minat terhadap utang Negara berkembang: investasi
warga Negara berkembang. Tidak ada yang akan meyakinkan kalangan investasi
bahwa kredit Negara berkembang tertentu menggambarkan nilai yang menguntungkan
sebanyak aktivitas pembelian warga Negara suatu Negara dan lembaga domestic.
Terlepas dari kejadian ketika utang diperoleh untuk digunakan dalam konversi
utang – ekuitas – yang sebenarnya menunjang penjualan mata uang setempat –
pembelian utang oleh warga Negara untuk keuntungan besar jarang terjadi.
Setiap pembicaraan
tentang utang Negara berkembang, krisis utang, dan beban utang akhirnya akan
sampai pada masalah penjaminan. Demikianlah dongeng sekitar kata ini sehingga
yang memakainya percaya bahwa menyebut kata itu saja dapat membantu
menyelesaikan masalah utang. Ini serupa dengan pencarian mangkok suci: Beredar
keyakinan bahwa bagaimana pun penjaminan dapat menanggulangi utang sedemikian
rupa sehingga orang ingin membelinya. Meskipun demikian, saat ini penjaminan
tidak berarti banyak.
Penjaminan dapat
dipakai untuk salah satu dari dua tujuan: pertama, menciptakan instrument yang
menarik bagi investor baru; dan kedua, menciptakan instrument yang menarik bagi
bank. Penjaminan untuk menarik minat bank berguna sebagai alternative untuk
penjadwalan ulang utang yang dijaminkan.
Prospek
Utang Negara berkembang dan pendanaan
Negara-negara berkembang bukanlahmasalah yang menempati kekosongan. Dengan satu
kekecualian penting, utang Negara berkembnag merupan bagian dari pasar modal
yang juga menyediakan pendanaan bagi Departemen Keuangan Amerika Serikat dan
IBM.
Kekecualiannya adalah bank-bank yang menguasai
utang Negara berkembang tidak menjual pinjaman itu dengan nilai pasar. Akibatnya
banyak kreditur bank tidak terdorong untuk mengelola portofolio utang Negara
berkembang dengan cara mencerminkan nilai ekonomis. Malahan, mereka terdorong
untuk mengelola portofolio mereka memakai cara yang mempertahankan khayalan
bahwa pinjaman itu berharga lebih tinggi dari pada harga jualnya.
Pendekatan itu menimbulkan hambatan yang sangat
besar terhadap resolusi krisis utang dan pemulihan pertumbuhan ekonomi di
Negara-negara berkembang. Karena banyak bank menjaga nilai fiktif demi kepentingan
pembukuan, mereka tidak dapat merundingkan restrukturisasi utang yang ada yang
memungkinkan debiatur untuk melunasinya. Selain itu bank yang mempertahankan
nilai fiktif tersbut tidak akan menjual pinjaman dengan harga yang menarik bagi
pemodal bukan bank. Sebelum hambatan ini disingkirkan, tidak aka nada resolusi
krisis utang.
PENGURANGAN
PEMBAYARAN UTANG
Sebagai Jalan keluar :
1. Pembelian kembali
2. Jaminan Pertukaran
Aset
3. Jaminan-jaminan
Bunga
SKEMA PARIPURNA UNTUK MENANGGULANGI KRISIS UTANG
Definisi Pendekatan Komprehensif
Dalam perdebatan
mengenai masalah utang Negara berkembang di tahun 80-an, resolusi yang “buruk”
sederhana global, atau komprehensif sering dibedakan dengan resolusi yang
“baik” kasus demi kasus, atau pasar. Sebenarnya, perbedaan antara solusi
komprehensif dan solusi pasar bersifat semu.
Ciri pertama solusi
komprehensif adalah mencoba memperlakukan utang Negara berkembang sebagai masalah bersama sejumlah Negara, bukan
masalah tiap-tiap Negara secara terpisah. Pendekatan komprehensif dapat
dikenali dari bentuk yang paling sederhana sebagai upaya untuk menerapkan
solusi tunggal dan global pada masalah-masalah sekelompok besar Negara
berkembang. Namun, setiap pendekatan komprehensif yang agak rumit akan
memberikan solusi umum bagi sekelompok Negara yang kondisi dan prospeknya
serupa, dengan adaptasi kasus pada keadaan dan prospek tiapa-tiap Negara. Dalam
hal itu, tidak ada perbedaan dengan solusi pasar.
Ciri kedua solusi
komprehensif adalah melibatkan semua pihak yang relevan – pemerintah
Negara-negara industry, bank-bank, dan Negara-negara debiatur. Solusi pasar
yang murni akan membebankan penanggulangan masalah utang Negara berkembang
kepada dua pihak yang langsung terlibat: bank-bank yang meminjamkan uang dan
Negara-negarayang berutang. Strategi komprehensif secara eksplisit mengakui
bahwa bukan hanya bank-bank dan Negara-negara berkembang yang berperan dalam
utang Negara berkembang. Pemerintah Negara-negara maju juga ikut menentukan
akibatnya secara ekonomis dan politis. Pendekatan komprehensif menyertakan
pihak yang terakhir itu sebagai bagian dari solusi.
Ciri-ciri terakhir dari solusi
komprehensif adalah cara ini langsung
mengkaitkan perubahan kebijakan dinegara debiataur dengan perubahan struktur
utangnya. Sesungguhnya kelemahan pokok solusi pasar yang murni adalah
ketidakmampuan bank maupun Negara-negara debitur untuk memakai pengaruh secara
tepat kepada pihak lain. Bank tidak dapat memaksa Negara-negara berdaulat
menjalankan perubahan kebijakan agar dikemudian hari mampu melunasi utang.
Negara-negara debitur yang mengalami kesulitan utang tidak dapat memaksa bank
memberikan pinjaman baru atau keringanan utang. Kepentingan mereka bersama
dalam memelihara hubungan baik kreditur-debitur dapat menghasilkan persetujuan
yang mengaitkan perubahan kebijakan yang diperlukan dengan restrukturisasi dan
penambahan dana. Tetapi, pihak ketiga yang berpengaruh terhadap bank maupun
debitur dibutuhkan untuk menjamin dilakukannya perubahan kebijakan yang perlu
oleh Negara berkembang dan bank diimbau untuk memberikan keringanan utang atau
kredit baru.
Maka, pendekatan
komprehensif sebenarnya merupakan rintisan penting untuk solusi pasar yang
sehat. Tanpa keterlibatan pemerintah, kaitan antara perubahan kebijakan dengan
reorganisasi atau penambahan dana tidak dapat terjalin dengan meyakinkan. Tanpa
kaitan tersebut, bank maupun Negara berkembang tidak dapat mencapai persetujuan
mengenai restrukturisasi pinjaman yang macet. Solusi pasar bisa berlangsung
dengan kerangka komprehensif yang menentukan pendirian Negara-negara industry
terhadap bank dan Negara debitur, cara bank serta debitur menyeimbangkan
pengeluaran dan keuntungan.
Pendekatan Komprehensif Dengan Dana Pemerintah
Sejak awal krisis utang sudah banyak
usul yang diajukan untuk pendekatan komprehensif yang disertai lebih besarnya
peran pemerintah. Para pendukung pendekatan komprehensif berpendapat, masalah
utang bukan sekedar likuiditas – itu adalah masalah kesanggupan membayar. Utang
dan pelunasan utang Negara berkembang sudah terlalu besar dibandingkan dengan
kesanggupan Negara berkembang untuk membayar. Bank dan Negara berkembang saja
tidak akan mampu mengatasi ketimpangan tersebut tanpa akibat yang sangat
merugikan mereka maupun Negara-negara industry. Untuk menghindari akibat buruk,
pemerintah Negara-negara industry harus menyediakan sumber daya keuangan untuk
menutupi kebutuhan Negara berkembang akan pelunasan utang yang lebih ringan
utang atau pinjaman yang lebih besar dan ketidakmampuan bank untuk memberikan
itu tanpa membebani system keuangan.
Para pendukung pendekatan baru ini
menyebutkan empat alasan umum perlunya strategi-strategi baru. Pertama, utang
Negara berkembang sudah melebihi kemampuan untuk melunasinya. Kedua, Negara
berkembang sangat kekurangan sumber daya untuk melunasi utang. Ketiga,
pertumbuhan ekonomi dan investasi Negara berkembangterus terhambat beban
pelunasan utang, menyebabkan kemunduran ekonomi, social, dan politik. Keempat,
Negara-negara industry tidak bisa menahan semakin rapuhnya system keuangan
mereka, dan bersama perindustrian swasta mereka juga mengalami kemerosotan
perdagangan dengan Negara-negara berkembang.
Usul-usul Reorganisasi dan Keringanan Utang
Pendekatan-pendekatan komprehensif
yang menonjolkan reorganisasi dan keringanan didasari asumsi bahwa beban utang
Negara berkembang terlalu besar dibandingkan dengan kemampuan mereka untuk
membayar. Oleh karena itu, utang harus direduksi atau pembayaran bunganya
diturunkan, atau dua-duanya sekaligus.
Mekanisme khusus untuk
pelaksanaannya berlainan di tiap-tiap rencana, dan rencana-rencana tersebut
sangat beragam. Uraian tentang rencana-rencana yang paling menonjol dan
terangkum pada lampiran. Tetapi, hampir semua keringanan utang melibatkan peran
pendanaan pemerintah Negara-negara maju, melalui jaminan, tanggungan modal,
atau dana untuk pembelian utang. Sokongan keuangan seperti itu dimaksudkan
untuk mendapatkan keringanan pendanaan tambahan bank-bankwalaupun ada kerugian
actual dan untuk menghindari kerugian yang sangat besar yang menyebabkan
kerugian bank berlipat dan krisis keuangan.
Pembelian Utang dengan Diskonto oleh Fasilitas
Internasional
Salah satu pendekatan melibatkan transfer pinjaman
Negara berkembang yang dilakukan oleh bank-bank kepada suatu lembaga public baru
yang harganya dibawah nilai yang sebenarnya, dengan bank yang menyerap diskonto
itu sebagai kerugian. Bank-bank akan menerima asset yang lebih baik dari
fasilitas internasional, dan didukung oleh kelayakan kredit Negara-negara
industry. Lembaga baru ini akan menerima obligasi yang diserahkan oleh Negara
debitur dan pembayaran obligasi tersebut.
Hutang Luar Negeri
Pemicu Krisis Ekonomi Indonesia
Perpindahan dari Orde Lama ke
Orde Baru, sekaligus terjadi perubahan kebijakan. Kebijakan Orde Baru
menonjolkan kebijakan pembangunan dimana dengan keterbatasan persediaan
anggaran, pemerintah melakukan kebijakan meminjam dana ke luar negeri yang
disebut hutang luar negeri. Sistem ekonomi pada masa Orde Baru sebenarnya
dilakukan bukan berdasarkan sistem mekanisme pasar yang sehat dan betul-betul
terbuka. Unsur perencanaan negara yang terpusat cukup menonjol sehingga
pilihan-pilihan industri tidak berjalan berdasarkan signal-signal pasar, yang
obyektif – rasional. Perencanaan ekonomi tersentralisasi yang
berkombinasi dengan jeratan kelompok kepentingan di lingkaran pusat kekuasaan
dan elite pemerintahan telah menjadi pola (patern) utama dari desain
kebijakan ekonomi.
Kebijakan hutang luar negeri,
yang dimaksudkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dengan ratusan bahkan
ribuan proyek yang terlibat di dalamnya pasti tidak bisa terhindarkan sebagai
sasaran rente ekonomi. Jadi, pembuat disain kebijakan ekonomi bagaikan
menciptakan mobil dengan “pedal gas” yang dapat dipacu dengan cepat.
Perumpamaan itu dapat terlihat dari rekayasa pertumbuhan ekonomi yang cepat
berbasis hutang luar negeri dan dilanjutkan dengan ekploitasi sumber daya alam
secara berlebihan untuk mengejar “setoran” hutang.[14]
Namun demikian, teknokrat
para pembuat rancangan kebijakan ekonomi tadi lupa membuat “rem” pengendali
yang baik. Akhirnya ekonomi Indonesia betul-betul terperangkap hutang yang
menggiring ke jurang krisis moneter dan kemudian menular ke dalam seluruh
sistem ekonomi, yang sebenarnya rentan. Krisis multi dimensi lanjutannya telah
menyebabkan ongkos sosial-politik yang tinggi. Bahkan biaya kemanusiaan yang
terjadi juga sangat luar biasa mahal dan terpaksa harus dibayar oleh bangsa
ini, yang tidak mungkin tertutupi oleh nilai tambah dari pertumbuhan ekonomi
yang tercipta selama ini.
Ekonomi pasar yang semu
dilaksanakan dengan warna yang kuat dan sangat menonjol dalam proses
pertumbuhan ekonomi masa itu. Oleh karena itu, tidak terhindarkan intervensi
pemerintah dalam berbagai bidang ekonomi. Hal ini utamanya terlihat dalam
rancangan serta implementasi APBN yang syarat dengan ketergantungan terhadap
hutang luar negeri tersebut.
Faktor hutang luar negeri
dalam rancangan pembangunan ekonomi tersebut telah menyebabkan dampak negatif
tidak hanya dari sisi teknis kemampuan membayar kembali, negatif outflow dan debt
service ratio yang melampaui
batas wajar. Dampak desain kebijakan hutang luar negeri tersebut telah menyodok
aspek-aspek non ekonomi, terutama kerusakan birokrasi,iklim usaha, perburuan
rente, inefisiensi, dan sebagainya. Kerusakan aspek non ekonomi ini, baik
kelembagaan maupun perilaku aktor-aktor ekonomi, jauh lebih besar biaya
sosialnya daripada aspek ekonomi itu sendiri.
Batas merah dari DSR sebesar
20 persen sudah dilanggar sejak lama sehingga beban pembayaran hutang luar
negeri ini telah menjadi penyakit laten bagi ekonomi nasional. Bahkan persoalan
hutang luar negeri itu sendiri telah menjadi isu politik yang dirasakan sebagai
api dalam sekam. Kritik sama sekali tidak dihargai bahkan cenderung melemah
karena DPR mandul. Kerapuhan kebijakan hutang luar negeri ini ditutupi dengan
jargon politik “Hutang hanya sebagai komplementer”. Sementara itu para
teknokrat dan ekonomi afilatifnya sibuk menjustifikasi bahwa hutang luar negeri
masih dapat dianggap sebagai persoalan publik yang dapat dikelola (manageable).
Distorsi-distorsi ekonomi
terjadi karena diawali dengan semangat etatisme yang kuat dan diikuti berbagai
gangguan kelompok kepentingan yang besar. Hal itu berlangsung selama periode
pembangunan ekonomi serba negara sampai akhir tahun 1970-an dan berlanjut pada
awal 1980-an. Namun sistem ekonomi yang bersifat etatisme ini tidak dapat
bertahan lama karena sumber daya pembangunan yang melimpah khususnya sumber
daya alam minyak dan non minyak serta hutang luar negeri semakin terbatas,
bahkan dari waktu ke waktu semakin berkurang.
Pemborosan demi pemborosan
satu per satu terlihat semakin gamblang, terutama ketika terjadi korupsi
pertamina pada masa kepemimpinan Ibnu Sutowo. Namun kasusnya ditutup-tutupi
karena menyangkut kepentingan penguasa, yang telah memanfaatkan BUMN menjadi
“sapi perah”. Sejak itu tidak ada lagi kasus-kasus korupsi yang betul-betul
ditangani dengan baik. Kerusakan institusi dan perilaku aktor negara ini telah
menjadi benih yang kuat untukk menular ke dalam institusi swasta yang menempel
langsung disamping negara. Sistem yang tercipta akhirnya tidak terhindarkan
menjadi normal dan bersifat anomali sehingga rentan krisis.
Disinilah kemudian terjadi
kegagalan pemerintah (state failure) dalam memainkan perannya di dalam
sistem ekonomi politik yang sehat. Kelemahan dalam membangun sistem ekonomi
politik menular ke lembaga swasta sehingga dunia usahapun dipenuhi distorsi,
perburuan rente dan inefisiensi. Kegagalan kebijakan deregulasi sektor
keuangan, yang bertujuan memacu arus masuk modal asing ke Indonesia, dapat
ditelusuri melalui logika dan nalar berfikir seperti ini.
Pada awal tahun 1980-an
kemudian terlihat gejala-gejala perlambatan pertumbuhan ekonomi karena masa
bonansa ekspor minyak mulai menyurut. Injeksi modal yang dilakukan tidak
produktif sehingga harus terus ditopang oleh hutang luar negeri. Karena
pemborosan yang terjadi, maka nilai tambah yang tercipta tidak mengarah pada
produktifitas modal yang diinjeksikan. Ekonomi Indonesia terus haus terhadap
tambahan modal dan hutang luar negeri.
Bahkan pada pertengahan tahun
1980-an itu pertumbuhan hutang luar negeri terus berlangsung dan justeru
semakin besar. Ini menunjukkan bahwa Indonesia sudah semakin terjerat dalam
perangkap hutang luar negeri (debt trap). Gejala ini berlangsung
sejalan dengan semakin besarnya pelarian modal negatif ke luar negeri karena
pembayaran cicilan pokok dan bunga hutang sudah lebih besar dari jumlah hutang
baru yang diterima.
Transaksi hutang luar negeri
pemerintah telah menjadi bencana bagi perekonomian nasional ketika terbukti
dari akumulasi yang besar dari pembayaran cicilan pokok dan bunganya. Aliran
modal keluar melalui transaksi hutang ini telah menyebabkan kehilangan
kesempatan investasi (oppurtunity lost) sehingga daya dorong fiskal
secara langsung dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Kebanyakan penerimaan
pemerintah dari pajak masuk ke dalam pengeluaran rutin, yang kebanyakan dipakai
untuk membayar hutang luar negeri. Kebijakan hutang luar negeri Indonesia
akhirnya memang menjadi catatan sejarah ekonomi yang buruk dan sekaligus dapat
dicatat sebagai suatu kecelakaan sejarah. Sampai pada kejadian ini, pemerintah
tetap merasa santai seolah-olah tidak terjadi apapun dan tidak ada upaya yang
signifikan untuk mengurangi hutang luar negeri. Tidak ada perubahan kebijakan
yang mengantisipasi dengan cepat permasalahan hutang luar negeri ini sehingga
terus menumpuk tanpa penyelesaian. Rutinitas perencanaan fiskal terus
dijalankan tanpa makna yang berarti untuk mengurangi ketergantungan terhadap
hutang luar negeri tersebut. Namun, akhirnya muncul kesadaran ketika semuanya
sudah terlambat, penyakit sudah terlanjur menjadi akut dan kronis, sehingga
sulit rasanya untuk bisa keluar dari cengkeraman hutang luar negeri.
Kesimpulan
Yang menjadi masalah disini bukanlah ada tidaknya
pendekatan komprehensif terhadap masalah-masalah utang Negara berkembang.
Masalahnya adalah peran apa yang akan dimainkan oleh pemerintah Negara-negara
maju dan bagaimana cara mereka memudahkan restrukturisasi yang dibutuhkan bagi
penanggulangan beban utang Negara berkembang.
Pendekatan yang digunakan saat ini,
yakni memberikan kredit baru tanpa pembiayaan langsung dari Negara-negara
industry, sudah tidak sesuai lagi. Krisis utang Negara berkembang tidak dapat
lagi diperlakuan sebagai masalah perbankan saja. Masalah ini juga merupakan
masalah pertumbuhan ekonomi, masalah perdagangan, dan masalah geopolitik. Suatu
pendekatan baru yang memberikan keringanan utang dan dukungan pembiayaan
seluruh Negara industry tidak dapat dihindari, bila dunia tidak ingin mengalami
suatu krisis keuangan atau erosi stabilitas ekonomi dan politik Negara berkembang
yang berkelanjutan.
Krisis
ekonomi adalah masalah kita berasama,untuk kita harus bersama-sama untuk
menanggulangi masalah ekonomi ini . baik moril maupun secara materil agar
masalah krisis ekonoi tidak berkelanjutan dan semakin membuat terpuruknya
bangsa ini.
DAFTAR REF:
A.Bogdanowicz Christine-Bindert,
1989 Pemecahan Krisis Utang Global, Penerbit IBEK Press, Tomang Jakarta Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar