BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi UKM di Indonesia
Beberapa
lembaga atau instansi bahkan UU memberikan definisi Usaha Kecil Menengah (UKM),
diantaranya adalah Kementrian Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah
(Menegkop dan UKM), Badan Pusat Statistik (BPS), Keputusan Menteri Keuangan No
316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, dan UU No. 20 Tahun 2008. Definisi UKM
yang disampaikan berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut
Kementrian Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop dan UKM),
bahwa yang dimaksud dengan Usaha Kecil (UK), termasuk Usaha Mikro (UMI), adalah
entitas usaha yang mempunyai memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp
200.000.000, tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha, dan memiliki
penjualan tahunan paling banyak Rp 1.000.000.000. Sementara itu, Usaha Menengah
(UM) merupakan entitas usaha milik warga negara Indonesia yang memiliki
kekayaan bersih lebih besar dari Rp 200.000.000 s.d. Rp 10.000.000.000, tidak
termasuk tanah dan bangunan.
Badan
Pusat Statistik (BPS) memberikan definisi UKM berdasarkan kunatitas tenaga
kerja. Usaha kecil merupakan entitas usaha yang memiliki jumlah tenaga kerja 5
s.d 19 orang, sedangkan usaha menengah merupakan entitias usaha yang memiliki
tenaga kerja 20 s.d. 99 orang. Berdasarkan Keputuasan Menteri Keuangan Nomor
316/KMK.016/1994 tanggal 27 Juni 1994, usaha kecil didefinisikan sebagai
perorangan atau badan usaha yang telah melakukan kegiatan/usaha yang mempunyai
penjualan/omset per tahun setinggi-tingginya Rp 600.000.000 atau aset/aktiva
setinggi-tingginya Rp 600.000.000 (di luar tanah dan bangunan yang ditempati)
terdiri dari : (1) badang usaha (Fa, CV, PT, dan koperasi) dan (2) perorangan
(pengrajin/industri rumah tangga, petani, peternak, nelayan, perambah hutan,
penambang, pedagang barang dan jasa)
2.2 Definisi dan Kriteria UKM
menurut Lembaga dan Negara Asing
Pada
prinsipnya definisi dan kriteria UKM di negara-negara asing didasarkan pada
aspek-aspek sebagai berikut :
(1)
jumlah tenaga kerja
(2)
pendapatan
(3)
jumlah asset
Paparan
berikut adalah kriteria-kriteria UKM di negara-negara atau lembaga asing.
1. World Bank, membagi UKM ke dalam 3
jenis, yaitu :
·
Medium
Enterprise, dengan kriteria :
a) Jumlah karyawan maksimal 300 orang
b) Pendapatan setahun hingga sejumlah $
15 juta
c) Jumlah aset hingga sejumlah $ 15 juta
·
Micro
Enterprise, dengan kriteria :
a) Jumlah karyawan kurang dari 30 orang
b) Pendapatan setahun tidak melebihi $
3 juta
·
Small
Enterprise, dengan kriteria :
a) Jumlah karyawan kurang dari 10 orang
b) Pendapatan setahun tidak melebihi $
100 ribu
c) Jumlah aset tidak melebihi $ 100
ribu
2. Singapura mendefinisikan UKM sebagai
usaha yang memiliki minimal 30% pemegang saham lokal serta aset produktif tetap
(fixed productive asset) di bawah SG $ 15 juta.
3. Malaysia, menetapkan definisi UKM
sebagai usaha yang memiliki jumlah karyawan yang bekerja penuh (full time
worker) kurang dari 75 orang atau yang modal pemegang sahamnya kurang dari M $
2,5 juta.
Definisi ini dibagi menjadi dua,
yaitu :
·
Small
Industry (SI), dengan kriteria jumlah karyawan 5 – 50 orang atau jumlah modal
saham sampai sejumlah M $ 500 ribu
·
Medium
Industry (MI), dengan kriteria jumlah karyawan 50 – 75 orang atau jumlah modal
saham sampai sejumlah M $ 500 ribu – M $ 2,5 juta.
4. Jepang, membagi UKM sebagai berikut
:
·
Mining
and manufacturing, dengan kriteria jumah karyawan maksimal 300 orang atau
jumlah modal saham sampai sejumlah US$2,5 juta.
·
Wholesale,
dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham
sampai US$ 840 ribu
·
Retail,
dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 54 orang atau jumlah modal saham
sampai US$ 820 ribu
·
Service,
dengan kriteria jumlah karyawan maksimal 100 orang atau jumlah modal saham
sampai US$ 420 ribu
2.3 Klasifikasi UKM
Dalam
perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan menjadi 4 (empat)
kelompok yaitu :
1. Livelihood Activities, merupakan UKM
yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum
dikenal sebagai sektor informal. Contohya adalah pedagang kaki lima
2. Micro Enterprise, merupakan UKM yang
memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan
3. Small Dynamic Enterprise, merupakan
UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan
subkontrak dan ekspor
4. Fast Moving Enterprise, merupakam
UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi
menjadi Usaha Besar (UB)
2.4 Undang-Undang dan Peraturan
Tentang UKM
Berikut
ini adalah list beberapa UU dan Peraturan tentang UKM :
1.
UU
No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil
2.
PP
No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan
3.
PP
No. 32 Tahun 1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil
4.
Inpres
No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah
5.
Keppres
No. 127 Tahun 2001 tentang Bidang/Jenis Usaha Yang Dicadangkan Untuk Usaha
Kecil dan Bidang/Jenis Usaha Yang Terbuka Untuk Usaha Menengah atau Besar
Dengan Syarat Kemitraan
6.
Keppres
No. 56 Tahun 2002 tentang Restrukturisasi Kredit Usaha Kecil dan Menengah
7.
Permenneg
BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara dengan
Usaha Kecil dan Program Bina Lingkungan
8.
Permenneg
BUMN Per-05/MBU/2007 tentang Program Kemitraan Badan Usaha Milik Negara
9.
Undang-undang
No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah
2.5 Kinerja UKM di Indonesia
UKM
di negara berkembang, seperti di Indonesia, sering dikaitkan dengan
masalah-masalah ekonomi dan sosial dalam negeri seperti tingginya tingkat
kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran, ketimpangan distribusi pendapatan,
proses pembangunan yang tidak merata antara daerah perkotaan dan perdesaan,
serta masalah urbanisasi. Perkembangan UKM diharapkan dapat memberikan kontribusi
positif yang signifikan terhadap upaya-upaya penanggulangan masalah-masalah
tersebut di atas.
2.6 kriteria
Usaha Kecil dan Menengah
Di
Indonesia, jumlah UKM hingga 2005 mencapai 42,4 juta unit lebih. Pemerintah
Indonesia, membina UKM melalui Dinas Koperasi dan UKM, dimasing-masing Propinsi
atau Kabupaten/Kta yang dapat digunakan meningkatkan strategi UKM
Ciri-ciri usaha kecil
- Jenis
barang/komoditi yang diusahakan umumnya sudah tetap tidak gampang berubah;
- Lokasi/tempat
usaha umumnya sudah menetap tidak berpindah-pindah;
- Pada
umumnya sudah melakukan administrasi keuangan walau masih sederhana,
keuangan perusahaan sudah mulai dipisahkan dengan keuangan keluarga, sudah
membuat neraca usaha;
- Sudah
memiliki izin usaha dan persyaratan legalitas lainnya termasuk NPWP;
- Sumberdaya
manusia (pengusaha) memiliki pengalaman dalam berwira usaha;
- Sebagian
sudah akses ke perbankan dalam hal keperluan modal;
- Sebagian
besar belum dapat membuat manajemen usaha dengan baik seperti business
planning.
Contoh usaha kecil
- Usaha
tani sebagai pemilik tanah perorangan yang memiliki tenaga kerja;
- Pedagang
dipasar grosir (agen) dan pedagang pengumpul lainnya;
- Pengrajin
industri makanan dan minuman, industri meubelair, kayu dan rotan, industri
alat-alat rumah tangga, industri pakaian jadi dan industri kerajinan
tangan;
- Peternakan
ayam, itik dan perikanan;
- Koperasi
berskala kecil.
Ciri-ciri usaha menengah
- Pada
umumnya telah memiliki manajemen dan organisasi yang lebih baik, lebih
teratur bahkan lebih modern, dengan pembagian tugas yang jelas antara
lain, bagian keuangan, bagian pemasaran dan bagian produksi;
- Telah
melakukan manajemen keuangan dengan menerapkan sistem akuntansi dengan
teratur, sehingga memudahkan untuk auditing dan penilaian atau pemeriksaan
termasuk oleh perbankan;
- Telah
melakukan aturan atau pengelolaan dan organisasi perburuhan, telah ada
Jamsostek, pemeliharaan kesehatan dll;
- Sudah
memiliki segala persyaratan legalitas antara lain izin tetangga, izin
usaha, izin tempat, NPWP, upaya pengelolaan lingkungan dll;
- Sudah
akses kepada sumber-sumber pendanaan perbankan;
- Pada
umumnya telah memiliki sumber daya manusia yang terlatih dan terdidik.
Contoh usaha menengah
Jenis atau macam usaha menengah hampir menggarap komoditi
dari hampir seluruh sektor mungkin hampir secara merata, yaitu:
- Usaha pertanian, perternakan,
perkebunan, kehutanan skala menengah;
- Usaha
perdagangan (grosir) termasuk expor dan impor;
- Usaha
jasa EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut), garment dan jasa transportasi taxi
dan bus antar proponsi;
- Usaha
industri makanan dan minuman, elektronik dan logam;
- Usaha pertambangan batu gunung
untuk kontruksi dan marmer buatan.
Kriteria usaha kecil menurut UU No.
9 tahun 1995 adalah sebagai berikut:
1. Memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha
2. Memiliki hasil penjualan tahunan
paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah)
3. Milik Warga Negara Indonesia
4. Berdiri sendiri, bukan merupakan
anak perusahaan atau cabang perusahaan yang tidak dimiliki, dikuasai, atau
berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan Usaha Menengah atau
Usaha Besar
5. Berbentuk usaha orang
perseorangan , badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha yang
berbadan hukum, termasuk koperasi.
Di Indonesia, jumlah UKM hingga 2005
mencapai 42,4 juta unit lebih.
Pemerintah Indonesia, membina UKM
melalui Dinas Koperasi dan UKM, dimasing-masing Propinsi atau Kabupaten/Kta.
2.7 Kriteria Jenis Usaha Berdasarkan
Jumlah Tenaga Kerja
Kriteria jumlah karyawan berdasarkan jumlah tenaga kerja
atau jumlah karyawan merupakan suatu tolak ukur yang digunakan oleh Badan Pusat
Statistik (BPS) untuk menilai usaha kecil atau besar, sebagai berikut :
|
Usaha Mikro
|
Usaha Kecil
|
Usaha Menengah
|
Usaha Besar
|
Jumlah Tenaga Kerja
|
<>
|
5-19 orang
|
20-99 orang
|
> 100 orang
|
UKM di Indonesia dapat bertahan di masa krisis
ekonomi disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu:
1. Sebagian UKM menghasilkan
barang-barang konsumsi (consumer goods), khususnya yang tidak tahan lama,
2. Mayoritas UKM lebih mengandalkan
pada non-banking financing dalam aspek pendanaan usaha,
3. Pada umumnya UKM melakukan
spesialisasi produk yang ketat, dalam arti hanya memproduksi barang atau jasa
tertentu saja, dan
4. Terbentuknya UKM baru sebagai akibat
dari banyaknya pemutusan hubungan kerja di sektor formal.
UKM
di Indonesia mempunyai peranan yang penting sebagai penopang perekonomian.
Penggerak utama perekonomian di Indonesia selama ini pada dasarnya adalah
sektor UKM. Kinerja UKM di Indonesia dapat ditinjau dari beberapa aspek, yaitu
:
1.
Nilai
Tambah
Kinerja perekonomian Indonesia yang
diciptakan oleh UKM tahun 2006 bila dibandingkan tahun sebelumnya digambarkan
dalam angka Produk Domestik Bruto (PDB) UKM pertumbuhannya mencapai 5,4 persen.
Nilai PDB UKM atas dasar harga berlaku mencapai Rp 1.778,7 triliun meningkat
sebesar Rp 287,7 triliun dari tahun 2005 yang nilainya sebesar 1.491,2 triliun.
UKM memberikan kontribusi 53,3 persen dari total PDB Indonesia. Bilai dirinci
menurut skala usaha, pada tahun 2006 kontribusi Usaha Kecil sebesar 37,7
persen, Usaha Menengah sebesar 15,6 persen, dan Usaha Besar sebesar 46,7
persen.
2.
Unit
Usaha dan Tenaga Kerja
Pada tahun 2006 jumlah populasi UKM
mencapai 48,9 juta unit usaha atau 99,98 persen terhadap total unit usaha di
Indonesia. Sementara jumlah tenaga kerjanya mencapai 85,4 juta orang.
3.
Ekspor
UKM
Hasil produksi UKM yang diekspor ke
luar negeri mengalami peningkatan dari Rp 110,3 triliun pada tahun 2005 menjadi
122,2 triliun pada tahun 2006. Namun demikian peranannya terhadap total ekspor
non migas nasional sedikit menurun dari 20,3 persen pada tahun 2005 menjadi 20,1
persen pada tahun 2006.
2.8 Kemitraan Usaha dan Masalahnya
Dalam menghadapi persaingan di abad ke-21, UKM dituntut
untuk melakukan restrukturisasi dan reorganisasi dengan tujuan untuk memenuhi
permintaan konsumen yang makin spesifik, berubah dengan cepat, produk
berkualitas tinggi, dan harga yang murah . Salah satu upaya yang dapat
dilakukan UKM adalah melalui hubungan kerjasama dengan Usaha Besar (UB).
Kesadaran akan kerjasama ini telah melahirkan konsep supply chain management
(SCM) pada tahun 1990-an. Supply chain pada dasarnya merupakan jaringan
perusahaan-perusahaan yang secara bersama-sama bekerja untuk menciptakan dan
menghantarkan suatu produk ke tangan pemakai akhir. Pentingnya persahabatan,
kesetiaan, dan rasa saling percaya antara industri yang satu dengan lainnya
untuk menciptakan ruang pasar tanpa pesaing, yang kemudian memunculkan konsep
blue ocean strategy.
Kerjasama antara perusahaan di Indonesia, dalam hal ini
antara UKM dan UB, dikenal dengan istilah kemitraan (Peraturan Pemerintah No.
44 Tahun 1997 tentang Kemitraan). Kemitraan tersebut harus disertai pembinaan
UB terhadap UKM yang memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling
memperkuat, dan saling menguntungkan. Kemitraan merupakan suatu strategi bisnis
yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam jangka waktu tertentu untuk
meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling membutuhkan dan saling
membesarkan. Kemitraan merupakan suatu rangkaian proses yang dimulai dengan
mengenal calon mitranya, mengetahui posisi keunggulan dan kelemahan usahanya,
memulai membangun strategi, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi sampai target
tercapai.
Pola kemitraan antara UKM dan UB di Indonesia yang telah dibakukan, menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, terdiri atas 5 (lima) pola, yaitu :
Pola kemitraan antara UKM dan UB di Indonesia yang telah dibakukan, menurut UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil dan PP No. 44 Tahun 1997 tentang kemitraan, terdiri atas 5 (lima) pola, yaitu :
(1).Inti Plasma, (2).Subkontrak, (3).Dagang Umum,
(4).Keagenan, dan (5).Waralaba.
Pola pertama, yaitu inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan UB sebagai inti membina dan mengembangkan UKM yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dalam hal ini, UB mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) untuk membina dan mengembangkan UKM sebagai mitra usaha untuk jangka panjang.
Pola pertama, yaitu inti plasma merupakan hubungan kemitraan antara UKM dan UB sebagai inti membina dan mengembangkan UKM yang menjadi plasmanya dalam menyediakan lahan, penyediaan sarana produksi, pemberian bimbingan teknis manajemen usaha dan produksi, perolehan, penguasaan dan peningkatan teknologi yang diperlukan bagi peningkatan efisiensi dan produktivitas usaha. Dalam hal ini, UB mempunyai tanggung jawab sosial (corporate social responsibility) untuk membina dan mengembangkan UKM sebagai mitra usaha untuk jangka panjang.
Pola kedua, yaitu subkontrak merupakan hubungan kemitraan
UKM dan UB, yang didalamnya UKM memproduksi komponen yang diperlukan oleh UB
sebagai bagian dari produksinya. Subkontrak sebagai suatu sistem yang
menggambarkan hubungan antara UB dan UKM, di mana UB sebagai perusahaan induk
(parent firma) meminta kepada UKM selaku subkontraktor untuk mengerjakan
seluruh atau sebagian pekerjaan (komponen) dengan tanggung jawab penuh pada
perusahaan induk. Selain itu, dalam pola ini UB memberikan bantuan berupa
kesempatan perolehan bahan baku, bimbingan dan kemampuan teknis produksi,
penguasaan teknologi, dan pembiayaan.
Pola ketiga, yaitu dagang umum merupakan hubungan kemitraan
UKM dan UB, yang di dalamnya UB memasarkan hasil produksi UKM atau UKM memasok
kebutuhan yang diperlukan oleh UB sebagai mitranya. Dalam pola ini UB
memasarkan produk atau menerima pasokan dari UKM untuk memenuhi kebutuhan yang
diperlukan oleh UB.
Pola keempat, yaitu keagenan merupakan hubungan kemitraan
antara UKM dan UB, yang di dalamnya UKM diberi hak khusus untuk memasarkan
barang dan jasa UB sebagai mitranya. Pola keagenan merupakan hubungan
kemitraan, di mana pihak prinsipal memproduksi atau memiliki sesuatu, sedangkan
pihak lain (agen) bertindak sebagai pihak yang menjalankan bisnis tersebut dan
menghubungkan produk yang bersangkutan langsung dengan pihak ketiga.
Pola kelima, yaitu waralaba merupakan hubungan kemitraan,
yang di dalamnya pemberi waralaba memberikan hak penggunaan lisensi, merek
dagang, dan saluran distribusi perusahaannya kepada penerima waralaba dengan
disertai bantuan bimbingan manajemen. Dalam pola ini UB yang bertindak sebagai
pemberi waralaba menyediakan penjaminan yang diajukan oleh UKM sebagai penerima
waralaba kepada pihak ketiga.
Kemitraan dengan UB begitu penting buat pengembangan UKM.
Kunci keberhasilan UKM dalam persaingan baik di pasar domestik maupun pasar
global adalah membangun kemitraan dengan perusahaan-perusahaan yang besar.
Pengembangan UKM memang dianggap sulit dilakukan tanpa melibatkan partisipasi
usaha-usaha besar. Dengan kemitraan UKM dapat melakukan ekspor melalui
perusahaan besar yang sudah menjadi eksportir, baru setelah merasa kuat dapat
melakukan ekspor sendiri. Disamping itu, kemitraan merupakan salah satu solusi
untuk mengatasi kesenjangan antara UKM dan UB. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa tumbuh kembangnya UKM di Indonesia tidak terlepas dari
fungsinya sebagai mitra dari UB yang terikat dalam suatu pola kemitraan usaha.
Manfaat yang dapat diperoleh bagi UKM dan UB yang melakukan
kemitraan diantaranya adalah Pertama, dari sudut pandang ekonomi, kemitraan
usaha menuntut efisiensi, produktivitas, peningkatan kualitas produk, menekan
biaya produksi, mencegah fluktuasi suplai, menekan biaya penelitian dan
pengembangan, dan meningkatkan daya saing. Kedua, dari sudut moral, kemitraan
usaha menunjukkan upaya kebersamaan dam kesetaraan. Ketiga, dari sudut pandang
soial-politik, kemitraan usaha dapat mencegah kesenjangan sosial, kecemburuan
sosial, dan gejolah sosial-politik.
Kemanfaatan ini dapat dicapai sepanjang kemitraan yang
dilakukan didasarkan pada prinsip saling memperkuat, memerlukan, dan
menguntungkan.
Keberhasilan kemitraan usaha sangat ditentukan oleh adanya
kepatuhan di antara yang bermitra dalam menjalankan etika bisnisnya.
Pelaku-pelaku yang terlibat langsung dalam kemitraan harus memiliki dasar-dasar
etikan bisnis yang dipahami dan dianut bersama sebagai titik tolak dalam
menjalankan kemitraan.
Menurut Keraf (1995) etika adalah sebuah refleksi kritis dan
rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam
sikap dan pola perilaku hidup manusia, baik sebagai pribadi maupun sebagai
kelompok. Dengan demikian, keberhasilan kemitraan usaha tergantung pada adanya
kesamaan nilai, norma, sikap, dan perilaku dari para pelaku yang menjalankan
kemitraan tersebut.
2.9 Permasalahan yang Dihadapi UKM
Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil
dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:
·
Faktor
Internal
1.
Kurangnya
Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor utama
yang diperlukan untuk mengembangkan suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM,
oleh karena pada umumnya usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan
atau perusahaan yang sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik
yang jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau lembaga
keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara administratif dan
teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi. Persyaratan yang menjadi
hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya ketentuan mengenai agunan karena tidak
semua UKM memiliki harta yang memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.
2.
Kualitas
Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh
secara tradisional dan merupakan usaha keluarga yang turun temurun.
Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil baik dari segi pendidikan formal maupun
pengetahuan dan keterampilannya sangat berpengaruh terhadap manajemen
pengelolaan usahanya, sehingga usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan
optimal. Disamping itu dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha
tersebut relatif sulit untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk
meningkatkan daya saing produk yang dihasilkannya.
3.
Lemahnya
Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang baik.
4.
Mentalitas
Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali pula
terlupakan dalam setiap pembahasan mengenai UKM, yaitu semangat
entrepreneurship para pengusaha UKM itu sendiri.[17] Semangat yang dimaksud
disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa menyerah, mau
berkorban serta semangat ingin mengambil risiko.[18] Suasana pedesaan yang
menjadi latar belakang dari UKM seringkali memiliki andil juga dalam membentuk
kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja UKM di daerah berjalan dengan santai dan
kurang aktif sehingga seringkali menjadi penyebab hilangnya kesempatan-kesempatan
yang ada.
5.
Kurangnya
Transparansi
Kurangnya transparansi antara
generasi awal pembangun UKM tersebut terhadap generasi selanjutnya. Banyak
informasi dan jaringan yang disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak
yang selanjutnya menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan
kesulitan bagi generasi penerus dalam mengembangkan usahanya.
·
Faktor Eksternal
1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya
Kondusif
Upaya
pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun selalu
dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya terhadap
penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga kerja, ekspor dan
perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan investasi usaha kecil dan
menengah melalui pembentukan modal tetap brutto (investasi).[19] Keseluruhan
indikator ekonomi makro tersebut selalu dijadikan acuan dalam penyusunan
kebijakan pemberdayaan UKM serta menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan
kebijakan yang telah dilaksanakan pada tahun sebelumnya.
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha besar.
Kebijaksanaan Pemerintah untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha besar.
Kendala
lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan perijinan untuk menjalankan
usaha mereka. Keluhan yang seringkali terdengar mengenai banyaknya prosedur
yang harus diikuti dengan biaya yang tidak murah, ditambah lagi dengan jangka
waktu yang lama. Hal ini sedikit banyak terkait dengan kebijakan perekonomian
Pemerintah yang dinilai tidak memihak pihak kecil seperti UKM tetapi lebih
mengakomodir kepentingan dari para pengusaha besar.
2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana
Usaha
Kurangnya
informasi yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat berkembang
dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang diharapkan. Selain itu,
tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat untuk menjalankan usahanya
yang disebabkan karena mahalnya harga sewa atau tempat yang ada kurang
strategis.
3. Pungutan Liar
Praktek
pungutan tidak resmi atau lebih dikenal dengan pungutan liar menjadi salah satu
kendala juga bagi UKM karena menambah pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini
tidak hanya terjadi sekali namun dapat berulang kali secara periodik, misalnya
setiap minggu atau setiap bulan.
4. Implikasi Otonomi Daerah
Dengan
berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang
kemudian diubah dengan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai
otonomi untuk mengatur dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini
akan mempunyai implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa
pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak segera
dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. Disamping itu, semangat
kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang kurang menarik bagi
pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya di daerah tersebut.
5. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana
diketahui bahwa AFTA yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020
berimplikasi luas terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam
perdagangan bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan
proses produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk
yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas seperti isu
kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu Hak Asasi Manusia
(HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering digunakan secara tidak fair
oleh negara maju sebagai hambatan (Non Tariff Barrier for Trade). Untuk itu,
UKM perlu mempersiapkan diri agar mampu bersaing baik secara keunggulan
komparatif maupun keunggulan kompetitif.
6. Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian
besar produk industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai
produk-produk dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang pendek. Dengan kata
lain, produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia mudah rusak dan tidak tahan
lama.
7. Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya
akses pasar akan menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan
secara kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.
8. Terbatasnya Akses Informasi
Selain
akses pembiayaan, UKM juga menemui kesulitan dalam hal akses terhadap
informasi. Minimnya informasi yang diketahui oleh UKM, sedikit banyak
memberikan pengaruh terhadap kompetisi dari produk ataupun jasa dari unit usaha
UKM dengan produk lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah tidak
mampunya produk dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar ekspor.
Namun, di sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial untuk
bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur ataupun akses
terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar domestik.
2.10 Langkah Penanggulangan Masalah
Dengan
mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan langkah-langkah yang selama
ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu diupayakan hal-hal sebagai berikut:
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah
perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara lain dengan
mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta penyederhanaan prosedur
perijinan usaha, keringanan pajak dan sebagainya.
2. Bantuan Permodalan
Pemerintah
perlu memperluas skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak
memberatkan bagi UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu
melalui sektor jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema
penjaminan, leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya
menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada maupun non bank. Lembaga
Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR).
3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis
usaha tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan
ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, baik itu melalui
undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada saling menguntungkan
(win-win solution).
4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan
kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau antara UKM dengan pengusaha
besar di dalam negeri maupun di luar negeri, untuk menghindarkan terjadinya
monopoli dalam usaha. Selain itu, juga untuk memperluas pangsa pasar dan
pengelolaan bisnis yang lebih efisien. Dengan demikian, UKM akan mempunyai
kekuatan dalam bersaing dengan pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun
luar negeri.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. UKM merupakan suatu bentuk
usaha kecil masyarakat yang pendiriannya berdasarkan inisiatif seseorang.
2. Kriteria
usaha kecil menegah
Pada prinsipnya kriteria UKM didasarkan pada aspek-aspek
sebagai berikut :
(1) jumlah tenaga kerja
(2) pendapatan
(3) jumlah asset
3. Mampu
menjelaskan klasifikasi Usaha Kecil dan Menengah?
Dalam perspektif perkembangannya, UKM dapat diklasifikasikan
menjadi 4 (empat) kelompok yaitu :
a. Livelihood Activities, merupakan UKM
yang digunakan sebagai kesempatan kerja untuk mencari nafkah, yang lebih umum
dikenal sebagai sektor informal. Contohya adalah pedagang kaki lima
b. Micro Enterprise, merupakan UKM yang
memiliki sifat pengrajin tetapi belum memiliki sifat kewirausahaan
c. Small Dynamic Enterprise, merupakan
UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan mampu menerima pekerjaan
subkontrak dan ekspor
d. Fast Moving Enterprise, merupakam
UKM yang telah memiliki jiwa kewirausahaan dan akan melakukan transformasi
menjadi Usaha Besar (UB)
4.
Contoh dari Usaha kecil dan
Menengah?
Contoh usaha kecil
- Usaha tani sebagai pemilik
tanah perorangan yang memiliki tenaga kerja;
- Pedagang
dipasar grosir (agen) dan pedagang pengumpul lainnya;
- Pengrajin
industri makanan dan minuman, industri meubelair, kayu dan rotan, industri
alat-alat rumah tangga, industri pakaian jadi dan industri kerajinan
tangan;
- Peternakan
ayam, itik dan perikanan;
- Koperasi berskala kecil.
Contoh
usaha menengah
Jenis atau
macam usaha menengah hampir menggarap komoditi dari hampir seluruh sektor
mungkin hampir secara merata, yaitu:
- Usaha pertanian, perternakan,
perkebunan, kehutanan skala menengah;
- Usaha perdagangan (grosir)
termasuk expor dan impor;
- Usaha jasa EMKL (Ekspedisi
Muatan Kapal Laut), garment dan jasa transportasi taxi dan bus antar
proponsi;
- Usaha industri makanan dan
minuman, elektronik dan logam;
- Usaha pertambangan batu gunung untuk kontruksi dan
marmer buatan.
B. SARAN
Menurut kami, Pemerintah pada
intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan tiga hal masalah klasik yang
kerap kali menerpa UKM, yakni akses pasar, modal, dan teknologi yang selama ini
kerap menjadi pembicaraan di seminar atau konferensi. Secara keseluruhan,
terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan
terhadap unit usaha UKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses
informasi, akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM,
ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan bisnis,
dan kompetisi.
Perlu
disadari, UKM berada dalam suatu lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi,
upaya mengembangkan UKM tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan
pembangunan (khususnya ekonomi) lebih luas.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Ir. Mohammad Jafar Hafsah, “Upaya Pengembangan Usaha Kecil Menengah”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar