1. PENGERTIAN
HUKUM PERIKATAN
Perikatan adalah terjemahan dari
istilah aslinya dalam bahasa Belanda “verbintenis”. Istilah perikatan
ini lebih umum dipakai dalam literature hukum di Indonesia. Perikatan artinya hal
yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu
menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan. Misalnya jual beli barang,
dapat berupa peristiwa misalnya lahirnya seorang bayi, matinya orang,
dapat berupa keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak
rumah yang bergandengan atau bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada
dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang- undang atau oleh
masyarakat sendiri diakui dan diberi akibat hukum. Dengan demikian, perikatan
yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan
hokum ( legal relation).
Jika dirumuskan, perikatan adalah
hubungan hukum yang terjadi antara orang yang satu dengan orang yang lain
karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Dari rumusan ini dapat diketahui
bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of
property), dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris
(law of succession), dalam bidang hukum pribadi (personal law).
Perikatan yang terdapat dalam bidang
hukum ini disebut perikatan dalam arti luas. Perikatan yang terdapat
dalam bidang-bidang hukum tersebut di atas dapat dikemukakan contohnya sebagai
berikut:
a)
Dalam bidang hukum kekayaan, misalnya perikatan jual
beli, sewa menyewa, wakil tanpa kuasa (zaakwaarneming), pembayaran tanpa
utang, perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain.
b)
Dalam bidang hukum keluarga, misalnya perikatan karena
perkawinan, karena lahirnya anak dan sebagainya.
c)
Dalam bidang hukum waris, misalnya perikatan untuk
mawaris karena kematian pewaris, membayar hutang pewaris dan sebagainya.
d)
Dalam bidang hukum pribadi, misalnya perikatan untuk
mewakili badan hukum oleh pengurusnya, dan sebagainya.
·
Perikatan Dalam arti Sempit
Perikatan yang dibicarakan dalam
buku ini tidak akan meliputi semua perikatan dalam bidang- bidang hukum
tersebut. Melainkan akan dibatasi pada perikatan yang terdapat dalam bidang
hukum harta kekayaan saja,yang menurut sistematika Kitab Undang- Undang
hukum Perdata diatur dalam buku III di bawah judul tentang Perikatan.
Tetapi menurut sistematika ilmu
pengetahuan hukum, hukum harta kekayaanitu meliputi hukukm benda dan hukum
perikatan, yang diatur dalam buku II KUHPdt di bawah judul Tentang Benda.
Perikatan dalam bidang harta kekayaan ini disebut Perikatan dalam arti
sempit.
·
Ukuran nilai
Perikatan dalam bidang hukum harta
kekayaan ini selalu timbul karena perbuatan orang, apakah perbuatan itu menurut
hukum atau melawan hukum. Objek perbuatan itu adalah harta kekayaan, baik
berupa benda bergerak atau benda tidak bergerak, benda berwujud atau benda
tidak berwujud, yang semuanya itu selalu dapat dinilai dengan uang. Jadi ukuran
untuk menentukan nilai atau harga kekayaan atau benda itu adalah uang. Dalam
kehidupan modern ini uang merupakan ukuran yang utama.
·
Debitur Dan Kreditur
Perikatan yang terjadi antara pihak
yang satu dengan pihak yang lain, mewajibkan pihak yang satu dengan yang lain,
mewajibkan pihak yang satu untuk berprestasi dan memberi hak kepada pihak yang
lain untuk menerima prestasi. Pihak yang berkewajiban berprestasi itu biasa
disebut debitur, sedangkan pihak yang berhak atas prestasi disebut kreditur.
Dalam suatu perikatan bisa terjadi
bahwa satu pihak berhak atas suatu prestasi. Tetapi mungkin juga bahwa pihak
yang berkewajiban memenuhi prestasi itu, di samping kewajiban tersebut juga
berhak atas suatu prestasi. Sebaliknya jika pihak lain itu disamping berhak
atas suatu prestasi juga berkewajiban memenuhi suatu prestasi. Jadi kedua belah
pihak mempunyai hak dan kewajiban timbale balik.
Karena prestasi itu diukur dengan
nilai sejumlah uang, maka pihak yang berkewajiban membayar sejumlah uang itu
berkedudukan sebagai debitur, sedangkan pihak yang berhak meneriam sejumlah
uang itu berkedudukan sebagai kreditur.
·
Macam- macam Perikatan
Dalam kenyataanya ada beberapa macam perikatan yang
dikenal dalam masyarakat menurut syarat yang ditentukan oleh pihak- pihak, atau
menurut jenis prestasi yang harus dipenuhi, atau menurut jumlah subyek yang
terlibat dalam perikatan itu.
a) Perikatan
bersyarat, perikatan yang timbul dari perjanjian dapat berupa perikatan murni
dan perikatan bersyarat.
b) Perikatan
dengan ketetapan waktu
c) Perikatan
alternative
d) Perikatan
tanggung menanggung
e) Perikatan
yang dapat dan tidak dapat dibagi
f) Perikatan
dengan ancaman hukuman
g) Perikatan
wajar
2. DASAR HUKUM PERIKATAN
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH
Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1. Perikatan
yang timbul dari persetujuan ( perjanjian )
2. Perikatan
yang timbul dari undang-undang
3. Perikatan
terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (
onrechtmatige daad ) dan perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber perikatan berdasarkan
undang-undang :
1. Perikatan
( Pasal 1233 KUH Perdata ) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau
karena undang-undang. Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk
berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
2. Persetujuan
( Pasal 1313 KUH Perdata ) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana
satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
3. Undang-undang
( Pasal 1352 KUH Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul
dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.
3.
ASAS-ASAS DALAM HUKUM PERIKATAN
Diposkan oleh velanthin di 06:24
Asas-asas dalam hukum perjanjian diatur
dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas
konsensualisme.
·
Asas Kebebasan Berkontrak
Asas
kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan
bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang
membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
·
Asas konsensualisme
Asas
konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan
sesuatu formalitas.
Dengan demikian,
azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata. Untuk
sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah
1. Kata
Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri
Kata
sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang
mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok
dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
2. Cakap
untuk Membuat Suatu Perjanjian
Cakap
untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut
hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
3. Mengenai
Suatu Hal Tertentu
Mengenai
suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci
(jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan
kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan
antara para pihak.
4. Suatu
sebab yang Halal
Suatu
sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa)
yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
Azas-azas hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni :
1.
Azas Kebebasan Berkontrak
Dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang
menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para
pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Dengan demikian, cara ini dikatakan
‘sistem terbuka’, artinya bahwa dalam membuat perjanjian ini para pihak
diperkenankan untuk menentukan isi dari perjanjiannya dan sebagai undang-undang
bagi mereka sendiri, dengan pembatasan perjanjian yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan undang-undang, ketertiban umum, dan norma
kesusilaan.
2.
Azas Konsensualisme
Azas ini berarti, bahwa perjanjian
itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara pihak mengenai hal-hal yang
pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas.
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
Dalam Pasal 1320 KUH Perdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yaitu :
1.
Kata sepakat antara para pihak yang
mengikatkan diri
2.
Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3.
Mengenai suatu hal tertentu
4.
WANPRESTASI DAN AKIBAT-AKIBATNYA
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana
seorang berjanji kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji
untuk melaksanakan sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk
dilaksanakan, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1.
perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang,
misalnya jual beli, tukar menukar, penghibahan (pemberian), sewa menyewa,
pinjam pakai.
2.
perjanjian untuk berbuat sesuatu, misalnya perjanjian
untuk membuat suatu lukisan, perjanjian perburuhan.
3.
Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya
perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan
kepunyaan seorang lain.
Wanprestasi
Apabila si
berutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya, maka dikatakan ia
melakukan “wanprestasi”. Wanprestasi seorang debitur dapat berupa empat
macam :
1)
tidak melakukan apa yang disanggupi akan
dilakukannya;
2)
melaksankan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak
sebagaimana dijanjikan;
3)
melakukan apa yang dijanjikannya tetapi
terlambat;
4)
melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh
dilakukannya.
Mengenai perjanjian untuk menyerahkan suatu barang
atau untuk melakukan suatu perbuatan, jika dalam perjanjian tidak ditetapkan
batas waktunya tetapi si berutang akan dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan, pelaksanaan prestasi itu harus lebih dahulu ditagih. Apabila
prestasi tidak seketika dapat dilakukan, maka si berutang perlu diberikan waktu
yang pantas.
Sanksi yang dapat dikenakan atas debitur yang lalai
atau alpa ada empat macam, yaitu:
1) membayar
kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan
ganti-rugi;
2) pembatalan
perjanjian atau juga dinamakan pemecahan perjanjian;
3) peralihan
resiko;
4) membayar
biaya perkara, kalau sampai diperkarakan di depan hakim.
1. Membayar
Kerugian
Ganti rugi sering dirinci dalam tiga unsur: biaya,
rugi dan bunga.
1.
Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak. Contoh nya jika seorang
sutradara mengadakan suatu perjanjian dengan pemain sandiwara untuk mengadakan
suatu pertunjukan dan pemain tersebut tidak datang sehingga pertunjukan
terpaksa dibatalkan, maka yang termasuk biaya adalah ongkos cetak iklan, sewa
gedung, sewa kursi dan lain-lain.
2.
Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Misalnya rumah
yang baru diserahkan oleh pemborong ambruk karena salah konstruksinya, hingga
merusak perabot rumah.
3.
Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan
keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur. Misalnya, dalam
hal jual beli barang, jika barang tersebut sudah mendapat tawaran yang lebih
tinggi dari harga pembeliannya.
Code Civil memperinci ganti rugi itu dalam dua
unsur, yaitu dommages et interests. Dommages meliputi biaya dan rugi
seperti dimaksudkan di atas, sedangkan interest adalah sama dengan bunga
dalam arti kehilangan keuntungan.
Dalam soal penuntutan ganti rugi, oleh undang-undang
diberikan ketentuan-ketentuan yang merupakan pembatasan dari apa yang boleh
dituntut sebagai ganti rugi.
Pasal 1247 KUHPer menentukan :
“Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya rugi
dan bunga yang nyata telah atau sedianya harus dapat diduga sewaktu perjanjian dilahirkan,
kecuali jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu disebabkan karena sesuatu
tipu daya yang dilakukan olehnya”.
Pasal 1248 KUHPer menentukan :
“Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perjanjian itu
disebabkan karena tipu daya si berutang, penggantian biaya, rugi dan bunga,
sekedar mengenai kerugian yang diderita oleh si berpiutang dan keuntungan yang
terhilang baginya, hanyalah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung
dari tak dipenuhinya perjanjian”.
Suatu pembatasan lagi dalam pembayaran ganti rugi
terdapat dalam peraturan mengenai bunga moratoir. Apabila prestasi itu
berupa pembayaran sejumlah uang, maka kerugian yang diderita oleh kreditur
kalau pembayaran itu terlambat, adalah berupa interest, rente atau
bunga.
Perkataan “moratoir” berasal dari kata Latin “mora”
yang berarti kealpaan atau kelalaian. Jadi bunga moratoir berarti bunga yang
harus dibayar (sebagai hukuman) karena debitur itu alpa atau lalai membayar
utangnya, ditetapkan sebesar 6 prosen setahun. Juga bunga tersebut baru
dihitung sejak dituntutnya ke pengadilan, jadi sejak dimasukkannya surat
gugatan.
2. Pembatalan
Perjanjian
Pembatalan
perjanjian, bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum
perjanjian diadakan. Dikatakan bahwa pembatalan itu berlaku surut sampai pada
detik dilahirkannya perjanjian. Kalau suatu pihak sudah menerima sesuatu dari
pihak yang lain, baik uang maupun barang, maka itu harus dikembalikan.
Pokoknya, perjanjian itu ditiadakan.
Pembatalan
perjanjian karena kelalaian debitur diatur dalam pasal 1266 KUHPer yang
mengatur mengenai perikatan bersyarat, yang berbunyi:
“Syarat
batal dianggap selamanya dicantumkan dalam perjanjian-perjanjian yang timbal
balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian
perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada
hakim.Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak
dipenuhinya kewajiban itu dinyatakan dalam perjanjian.Jika syarat batal tidak
dinyatakan dalam perjanjian, hakim leluasa menurut keadaan atas permintaan si
tergugat, untuk memberikan suatu jangka waktu guna kesempatan memenuhi
kewajibannya, jangka waktu mana tidak boleh lebih dari satu bulan”.
Pembatalan
perjanjian itu harus dimintakan kepada hakim, bukan batal secara otomatis
walaupun debitur nyata-nyata melalaikan kewajibannya. Putusan hakim itu tidak
bersifat declaratoir tetapi constitutif, secara aktif membatalkan
perjanjian itu. Putusan hakim tidak berbunyi “Menyatakan batalnya perjanjian antara
penggugat dan tergugat” melainkan, “Membatalkan perjanjian”.
Hakim harus
mempunyai kekuasaan discretionair, artinya : kekuasaan untuk menilai besar
kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan
perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Kalau hakim menimbang kelalaian
debitur itu terlalu kecil, sedangkan pembatalan perjanjian akan membawa
kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk membatalkan
perjanjian akan ditolak oleh hakim. Menurut pasal 1266 hakim dapat memberikan
jangka waktu kepada debitur untuk masih memenuhi kewajibannya. Jangka waktu ini
terkenal dengan nama “terme de grace”.
3. Peralihan
Resiko
Sebagai
sanksi ketiga atas kelalaian seorang debitur disebutkan dalam pasal 1237
KUHPer. Yang dimaksudkan dengan “resiko” adalah kewajiban untuk memikul
kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak, yang
menimpa barang yang menjadi objek perjanjian.
Peralihan
resiko dapat digambarkan demikian :
Menurut
pasal 1460 KUHPer, maka resiko dalam jual beli barang tertentu dipikulkan
kepada si pembeli, meskipun barangnya belum diserahkan. Kalau si penjual itu
terlambat menyerahkan barangnya, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan
resiko tadi dari si pembeli kepada si penjual. Jadi dengan lalainya sipenjual,
resiko itu beralih kepada dia.
4. Membayar
Biaya Perkara
Tentang
pembayaran ongkos biaya perkara sebagai sanksi keempat bagi seorang debitur
yang lalai adalah tersimpul dalam suatu peraturan Hukum Acara, bahwa pihak yang
dikalahkan diwajibkan membayar biaya perkara.
Menurut
pasal 1267 KUHPer, pihak kreditur dapat menuntut si debitur yang lalai untuk
melakukan :
1.
pemenuhan perjanjian;
2.
pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi;
3.
ganti rugi saja;
4.
pembatalan perjanjian; pembatalan disertai ganti rugi.
5. HAPUSNYA PERIKATAN
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi
kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 10 (sepuluh) cara
penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut :
Pembaharuan utang (inovatie)
Novasi adalah suatu persetujuan yang
menyebabkan hapusnya sutau perikatan dan pada saat yang bersamaan timbul
perikatan lainnya yang ditempatkan sebagai pengganti perikatan semula.
Ada dua macam novasi yaitu :
1.
Novasi obyektif, dimana perikatan yang
telah ada diganti dengan perikatan lain.
2.
Novasi subyektif pasif, dimana
debiturnya diganti oleh debitur lain.
Perjumpaan utang (kompensasi)
Kompensasi adalah salah satu cara
hapusnya perikatan, yang disebabkan oleh keadaan, dimana dua orang
masing-masing merupakan debitur satu dengan yang lainnya. Kompensasi terjadi
apabila dua orang saling berutang satu pada yang lain dengan mana utang-utang
antara kedua orang tersebut dihapuskan, oleh undang-undang ditentukan bahwa
diantara kedua mereka itu telah terjadi, suatu perhitungan menghapuskan
perikatannya (pasal 1425 KUH Perdata). Misalnya A berhutang sebesar Rp.
1.000.000,- dari B dan sebaliknya B berhutang Rp. 600.000,- kepada A. Kedua
utang tersebut dikompensasikan untuk Rp. 600.000,- Sehingga A masih mempunyai
utang Rp. 400.000,- kepada B.Untuk terjadinya kompensasi undang-undang
menentukan oleh Pasal 1427KUH Perdata, yaitu utang tersebut :
·
Kedua-duanya berpokok sejumlah uang
atau.
·
Berpokok sejumlah barang yang dapat
dihabiskan. Yang dimaksud dengan barang yang dapat dihabiskan ialah barang yang
dapat diganti.
·
Kedua-keduanya dapat ditetapkan dan
dapat ditagih seketika.
Pembebasan utang.
Undang-undang tidak memberikan definisi
tentang pembebasan utang. Secara sederhana pembebasan utang adalah perbuatan
hukum dimana dengan itu kreditur melepaskan haknya untuk menagih piutangnya
dari debitur. Pembebasan utang tidak mempunyai bentuk tertentu. Dapat saja
diadakan secara lisan. Untuk terjadinya pembebasan utang adalah mutlak, bahwa
pernyataan kreditur tentang pembebasan tersebut ditujukan kepada debitur.
Pembebasan utag dapat terjadi dengan persetujuan atau Cuma- Cuma.
Menurut pasal 1439 KUH Perdata maka
pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan tetapi harus dibuktikan.
Misalnya pengembalian surat piutang asli secara sukarela oleh kreditur
merupakan bukti tentang pembebasan utangnya.
Dengan pembebasan utang maka perikatan
menjadi hapus. Jika pembebasan utang dilakukan oleh seorang yang tidak cakap
untuk membuat perikatan, atau karena ada paksaan, kekeliruan atau penipuan,
maka dapat dituntut pembatalan. Pasal 1442 menentukan :
1.
pembebasan utang yang diberikan kepada
debitur utama, membebaskan para penanggung utang,
2.
pembebasan utang yang diberikan kepada
penanggung utang, tidak membebaskan debitur utama,
3.
pembebasan yang diberikan kepada salah
seorang penanggung utang, tidak membebaskan penanggung lainnya.
Musnahnya barang yang terutang
Apabila benda yang menjadi obyek dari
suatu perikatan musnah tidak dapat lagi diperdagangkan atau hilang, maka
berarti telah terjadi suatu ”keadaan memaksa”at au force majeur, sehingga
undang-undang perlu mengadakan pengaturan tentang akibat-akibat dari perikatan tersebut.
Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, maka untuk perikatan sepihak dalam keadaan yang
demikian itu hapuslah perikatannya asal barang itu musnah atau hilang diluar
salahnya debitur, dan sebelum ia lalai menyerahkannya. Ketentuan ini berpokok
pangkal pada Pasal 1237 KUH Perdata menyatakan bahwa dalam hal adanya perikatan
untuk memberikan suatu kebendaan tertentu kebendaan itu semenjak perikatan
dilakukan adalah atas tenggungan kreditur. Kalau kreditur lalai akan
menyerahkannya maka semenjak kelalaian-kebendaan adalah tanggungan debitur.
Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan.
Bidang kebatalan ini dapat dibagi dalam
dua hal pokok, yaitu : batal demi hukum dan dapat dibatalkan.
Disebut batal demi hukum karena
kebatalannya terjadi berdasarkan undang-undang. Misalnya persetujuan dengan
causa tidak halal atau persetujuan jual beli atau hibah antara suami istri
adalh batal demi hukum. Batal demi hukum berakibat bahwa perbuatan hukum yang
bersangkutan oleh hukum dianggap tidak pernah terjadi.
Contoh : A menghadiahkan rumah kepada B
dengan akta dibawah tangan, maka B tidak menjadi pemilik, karena perbuatan
hukum tersebut adalah batal demi hukum. Dapat dibatalkan, baru mempunyai akibat
setelah ada putusan hakim yang membatalkan perbuatan tersebut. Sebelu ada putusan,
perbuatan hukum yang bersangkutan tetap berlaku. Contoh : A seorang tidak cakap
untuk membuat perikatan telah menjual dan menyerahkan rumahnya kepada B dan
kerenanya B menjadi pemilik. Akan tetapi kedudukan B belumlah pasti karena wali
dari A atau A sendiri setelah cukup umur dapat mengajukan kepada hakim agar
jual beli dan penyerahannya dibatalkan. Undang-undang menentukan bahwa perbuata
hukum adalah batal demi hukum jika terjadi pelanggaran terhadap syarat yang
menyangkut bentuk perbuatan hukum, ketertiban umum atau kesusilaan. Jadi pada
umumnya adalah untuk melindungi ketertiban masyarakat. Sedangkan perbuatan
hukum dapat dibatalkan, jika undang-undang ingin melindungi seseorang terhadap
dirinya sendiri.
Syarat
yang membatalkan
Yang dimaksud dengan syarat di sini
adalah ketentun isi perjanjian yang disetujui oleh kedua belah pihak, syarat
mana jika dipenuhi mengakibatkan perikatan itu batal, sehingga perikatan
menjadi hapus. Syarat ini disebut ”syarat batal”. Syarat batal pada asasnya
selalu berlaku surut, yaitu sejak perikatan itu dilahirkan. Perikatan yang
batal dipulihkan dalam keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi
perikatan. Lain halnya dengan syarat batal yang dimaksudkan sebagai ketentuan
isi perikatan, di sini justru dipenuhinya syarat batal itu, perjanjian menjadi
batal dalam arti berakhir atau berhenti atau hapus. Tetapi akibatnya tidak sama
dengan syarat batal yang bersifat obyektif. Dipenuhinya syarat batal, perikatan
menjadi batal, dan pemulihan tidak berlaku surut, melainkan hanya terbatas pada
sejak dipenuhinya syarat itu.
Kedaluwarsa
Menurut ketentuan Pasal 1946 KUH
Perdata, lampau waktu adalah suatu alat untuk memperoleh susuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang. Dengan demikian menurut
ketentuan ini, lampau waktu tertentu seperti yang ditetapkan dalam
undang-undang, maka perikatan hapus.
Dari ketentuan Pasal tersebut diatas
dapat diketehui ada dua macam lampau waktu, yaitu :
1. Lampau
waktu untuk memperolah hak milik atas suatu barang, disebut ”acquisitive
prescription”;
2. Lampau
waktu untuk dibebaskan dari suatu perikatan atau dibebaskan dari tuntutan,
disebut ”extinctive prescription”; Istilah ”lampau waktu” adalah terjemahan
dari istilah aslinya dalam bahasa belanda ”verjaring”. Ada juga terjemaha lain
yaitu ”daluwarsa”. Kedua istilah terjemahan tersebut dapat dipakai, hanya saja
istilah daluwarsa lebih singkat dan praktis.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar